+62-251-8423005 Fax: +62-251-8423004 ab2ti.pusat@gmail.com
Isu “beras oplosan” yang memanas dalam beberapa pekan terakhir menimbulkan kegelisahan publik: benarkah beras premium yang dibeli masyarakat sesuai dengan labelnya? Dalam podcast Ruang Suara RRI, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi mengungkapkan temuan mengejutkan dari 200 lebih sampel beras yang diuji di 13 laboratorium—86 persen tidak memenuhi standar mutu sesuai label kemasan. Arief menegaskan, beras premium harus memenuhi aturan ketat Peraturan Badan Pangan Nomor 2/2023, seperti derajat sosoh minimal 95%, kadar air maksimal 14%, dan batas butiran patah hanya 15 persen. Jika di kemasan tertulis “5 kilogram premium” tetapi isinya kurang atau mutunya menurun, maka itu jelas membohongi konsumen dan harus ditindak.

Namun, Guru Besar IPB Prof. Dwi Andreas Santosa meminta agar pemerintah lebih cermat memilih kata. Menurutnya, istilah “oplosan” berkonotasi negatif dan bisa menimbulkan persepsi pangan berbahaya, padahal yang terjadi di lapangan banyak berupa praktik blending—pencampuran beras kepala dan broken rice untuk mencapai standar premium atau medium. “Di Amerika, broken rice malah lebih mahal daripada beras kepala,” ungkapnya. Ia menegaskan, blending adalah praktik legal dan aman, berbeda dengan oplosan yang menyalahi aturan atau membahayakan kesehatan. Penggunaan istilah yang salah, katanya, dapat memicu keresahan dan memengaruhi pasar secara tidak proporsional.

Perdebatan soal beras ini tidak hanya berhenti pada definisi oplosan versus blending. Diskusi berkembang pada rantai tata niaga dan dampak kebijakan harga. Pemerintah mendapat apresiasi karena telah menaikkan harga gabah (HPP) hingga Rp6.500/kg pada 2025—langkah yang membuat petani “dimuliakan” dan akhirnya tersenyum, kata Prof. Andreas. Tetapi di sisi lain, ia memperingatkan pentingnya keseimbangan: “Petani memang harus bahagia, tetapi konsumen jangan sampai terbebani harga beras yang melambung, dan penggilingan padi juga jangan kolaps.”

Fakta di lapangan menunjukkan pemerintah kini memegang stok besar—4,3 juta ton beras—hasil serapan dalam negeri dan impor tahun sebelumnya. Prof. Andreas menyoroti bahwa serapan pemerintah hingga 2,7 juta ton dari surplus Januari–Juni 2025 membuat pasar kehilangan suplai beras segar. “Kalau stok terlalu lama di gudang, kualitas bisa turun dan bisa berujung pada disposal yang merugikan negara,” jelasnya. Ia menyebut potensi kerugian akibat beras buangan bisa mencapai 100 ribu ton atau setara Rp1,2 triliun. Oleh karena itu, ia menyarankan stok segera dilepas ke pasar agar harga stabil dan distribusi tidak tersumbat.

Keduanya sepakat, penanganan isu beras memerlukan presisi, komunikasi yang jernih, dan koordinasi erat lintas lembaga. Kata “oplosan” harus diganti dengan istilah yang tepat agar publik tidak panik. Stok pemerintah perlu dikelola dengan logika cut and fill—diserap saat panen raya dan dilepas saat paceklik. Dan yang terpenting, ekosistem pangan harus dijaga agar tiga pilar—petani, penggilingan, dan konsumen—sama-sama mendapat manfaat. Sebab, seperti diingatkan Prof. Andreas, “beras bukan sekadar komoditas, tetapi hajat hidup orang banyak—salah langkah sedikit saja, dampaknya bisa mengguncang ekonomi bahkan politik negeri ini.”